![]() |
| Ilustrasi. Aksi bullying. (Foto: Dok. Pixrlshot) |
INDONESIATERKINI.ID — Kasus perundungan di sekolah kini memasuki fase yang semakin mengkhawatirkan. Data terkini menunjukkan bahwa lingkungan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak justru berubah menjadi lokasi rentan ancaman, tekanan mental, dan kekerasan terselubung.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 1.052 laporan pelanggaran hak anak sepanjang 2025. Dari jumlah itu, 16 persen atau 165 kasus terjadi langsung di sekolah, tempat yang semestinya menjadi zona aman serta ruang pertumbuhan bagi generasi muda.
Lebih tragis lagi, 26 kasus berujung pada hilangnya nyawa anak-anak yang tak sanggup lagi menanggung tekanan akibat perundungan.
Komisioner KPAI Aris Adi Leksono menegaskan bahwa situasi ini bukan lagi sekadar fenomena sosial biasa. Ia mengungkap bahwa banyak korban memilih mengakhiri hidup baik di sekolah maupun di rumah masing-masing.
"Sepertiga (kasus bunuh diri) terjadi di satuan pendidikan," ujar Aris dalam rapat koordinasi melalui Zoom Meeting, Senin (17/11/2025).
Dalam dua bulan terakhir saja, enam anak meninggal akibat perundungan yang tak tertangani. Bahkan, kasus ekstrem seperti pengeboman rakitan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta Utara juga berawal dari pola perundungan yang tak terkendali.
Rangkaian peristiwa tragis itu menyisakan satu benang merah: bullying yang dibiarkan berkembang hingga ke titik ekstrem.
Bullying meluas lewat dunia digital
Aris menilai mitigasi yang berjalan selama ini masih sangat terlambat. Konseling baru ramai diberikan ketika korban sudah jatuh, bukan ketika gejala awal muncul. Karena itu, KPAI mendorong penguatan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Kekerasan di daerah hingga ke tingkat sekolah.
Dalam paparannya, Aris juga menyoroti peran internet dan media digital dalam mempercepat penyebaran perundungan. Akses anak terhadap konten berbahaya, ruang obrolan anonim, hingga komunitas ekstrem disebut turut memperburuk keadaan.
"Dalam prinsip perlindungan anak, ada prinsip apa yang disebut dengan kepentingan terbaik buat anak, jika gadget tanpa literasi yang kuat, malah membawa kemudaratan, maka sebenarnya mengancam kepentingan terbaik buat anak," ujarnya.
Temuan KPAI terkait pelaku pengeboman di SMAN 72 semakin memperkuat kekhawatiran itu. Pelaku belajar membuat bom dari deepweb dan komunitas bernuansa kekerasan.
Kemkomdigi: “Internet bukan kambing hitam”
Berbeda dengan Aris, Pelaksana Tugas Dirjen Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Alexander Sabar, menilai internet tak bisa sepenuhnya dipersalahkan.
Menurutnya, ruang digital bersifat netral: bisa membawa manfaat, bisa juga membawa mudarat, tergantung bagaimana anak memahaminya dan bagaimana orangtua mengawasi.
Alexander mencontohkan fenomena remaja yang berprestasi dalam dunia e-sport, bahkan dari game bertema kekerasan seperti PUBG Mobile. Mereka tetap mampu berprestasi karena memiliki literasi digital yang matang.
"Masalah literasi digital balik lagi ke situ permasalahannya adalah bagaimana memberikan pemahaman terkait dengan ruang digital kita ini," ujarnya.
Ia menambahkan, orangtua tidak boleh lepas tangan dan harus turut meningkatkan literasi digital mereka sendiri agar dapat mendampingi anak-anak ketika berselancar di dunia maya.
Kesadaran kolektif dalam menggunakan internet secara aman, menurut Alexander, akan memberi dampak langsung pada anak-anak di sekitarnya.
Pandangan Kak Seto: Internet netral, yang penting literasi
Sikap senada juga disampaikan Ketua LPAI Seto Mulyadi (Kak Seto). Ia menegaskan bahwa internet pada dasarnya netral dan justru banyak memberikan manfaat bagi anak serta remaja jika digunakan secara tepat.
"Misalnya seorang pandai menguasai bahasa asing itu juga (belajar dari) sosial media. Seorang anak misalnya dalang cilik tapi asal dari kota Jakarta, dia sangat lihai. Belajarnya dari mana? Dari Mbah Youtube misalnya," ungkap Kak Seto dikutip dari Kompas.com, Selasa (11/11/2025).
Bagi Kak Seto, yang terpenting adalah bagaimana orangtua dan pendidik membangun literasi digital yang kuat agar anak mampu memilah mana konten positif dan mana yang merugikan. Ia juga menekankan bahwa literasi digital sama pentingnya dengan kemampuan bersosialisasi dan etika moral.
"Sehingga anak bisa membedakan Misalnya mana yang positif, mana yang negatif," katanya.
Ia menuturkan bahwa kecerdasan etika, moral, hingga spiritual juga harus dibentuk agar anak dapat menghadapi berbagai pengaruh di dunia maya.
Kemendikdasmen siapkan penyederhanaan aturan dan penguatan Satgas Sekolah
Merespons lonjakan kasus kekerasan dan perundungan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) turut mengambil langkah tegas. Inspektur I Kemendikdasmen, Subiyantoro, mengatakan pihaknya akan memperkuat Satgas Pencegahan Kekerasan di satuan pendidikan.
Menurutnya, regulasi terkait pencegahan kekerasan selama ini terlalu banyak dan rumit, sehingga perlu penyederhanaan agar dapat diimplementasikan lebih cepat dan efektif.
"Saat ini kami sedang merencanakan untuk melakukan evaluasi dan penyediaan peraturan yang mungkin jauh lebih efektif, dan lebih implementatif," jelas Subiyantoro.
Selain itu, Kemendikdasmen juga menyiapkan program pelatihan bagi para guru agar mereka mampu menjadi pendamping bagi siswa, tak hanya sebatas guru BK. Guru diharapkan dapat menjadi tempat aman bagi siswa untuk bercerita, terutama ketika mengalami intimidasi atau perundungan.
Fenomena bullying kini bukan sekadar persoalan keseharian di sekolah. Ia telah berkembang menjadi ancaman serius yang menelan korban jiwa dan dapat berubah menjadi tragedi massal jika tak segera ditangani.
Para pemangku kebijakan bersuara, namun kerja sama orangtua, sekolah, masyarakat, hingga literasi digital anak menjadi kunci utama untuk mematahkan rantai kekerasan yang kian menggila.


